Sabtu

Memperingati Hari Air Sedunia

“Tak ada pembangunan tanpa air, namun tidak ada air yang cukup untuk pembangunan.”

—Forum Air Dunia ke-6, Marseille, Perancis 12-17 Maret 2012

Peringatan Hari Air Sedunia, 22 Maret, tahun ini menggarisbawahi hubungan antara air dan ketahanan pangan. Ini tidak mengherankan, mengingat peran krusial yang dimainkan air dalam menyangga pembangunan.

Tetapi di Indonesia, peran krusial itu seperti tak disadari. Demi mendukung swasembada beras (dan ambisi surplus 10 juta ton) tentu dibutuhkan irigasi yang mumpuni. Tetapi data Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan, sekitar 45 persen jaringan irigasi yang kita punya mengalami kerusakan.

Belum lagi masalah pencaplokan sumber daya air. Di Padaricang, Banten, sekitar 9 ribu petani merasa terancam oleh keberadaan PT Tirta Investama (Aqua Danone) yang dituding mencokok air mereka.

Sistem produksi pangan saat ini juga dituding tak ramah air. Tahun lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengoordinasikan tema untuk “kontribusi ketahanan pangan dengan penggunaan air optimal”. Tema ini terpaut dengan penggunaan air yang efektif, juga termasuk rantai penggunaan air terutama menyangkut pertanian dan juga energi (tanaman biofuel).

Namun sejujurnya, produksi tanaman biofuel mengandung masalah. Pertama, komoditas biofuel cenderung bersaing dengan pangan — bahkan dituding menjadi penyebab kenaikan dan krisis harga pangan tahun 2008. Kedua, tanaman biofuel (misalnya kelapa sawit) sangat tidak ramah air.

Sawit ditanam dengan mode perkebunan yang menyedot sumber air dan limbahnya cenderung merusak aliran air sekitar. Ekspansi perkebunan sawit juga memapras hutan, dan pohon kelapa sawit tidak menyimpan air sebagaimana hutan asli.

Di tengah penghancuran ekosistem karena industri ekstraktif, penebangan hutan dan ekspansi perkebunan, kondisi lahan dan ekosistem di sepanjang aliran sungai (DAS) juga patut diperhatikan. Apalagi, 108 DAS di Indonesia kondisinya memprihatinkan dan mendesak untuk diperbaiki.

Keadaan ini mendekatkan kita pada bencana. Dengan curah hujan rata-rata yang tinggi (2.779 mm per tahun), banjir atau tanah longsor siap mengancam kapan saja.

Agar tak bias kepulauan, perairan nusantara juga harus diperhatikan. Banyak kasus pencaplokan zona tangkap, serta nelayan tradisional kita yang semakin susah mencari ikan. Padahal daerah pesisir sangat perlu diutamakan dalam pembangunan — termasuk menjaga wilayah perairan dan zona tangkap nelayan tradisional tetap lestari.

Kembali ke tema air dan ketahanan pangan, ada beberapa anjuran yang mungkin bisa kita perhatikan terkait kehidupan sehari-hari.

Pertama, mengonsumsi produk yang ramah air. Artinya, barang yang hendak dikonsumsi tak bisa kita terima begitu saja — kita harus lacak dan waspada cara produksinya. Misalnya, apakah makanan Anda diproduksi dengan model perkebunan atau tambak, intensif agrokimia (pupuk dan pestisida) — yang tentunya tidak ramah air?

Kedua, tidak membuang-buang makanan. Badan PBB untuk air, UN Water, menyatakan 30 persen pangan yang diproduksi di seluruh dunia ternyata terbuang percuma. Padahal untuk memproduksi 1 kilogram daging sapi di peternakan, dibutuhkan sekitar 15.000 liter air!

Ketiga, mencoba produksi pangan yang lebih baik dengan tidak membuang-buang air. Pangan lokal, dengan model produksi organik, lebih efisien menggunakan air dan rendah emisi, karena tidak membutuhkan transportasi internasional, atau produksi pupuk dan agrokimia yang boros air dan bahan bakar.

Membangun dan memperbaiki saluran irigasi untuk pertanian adalah contoh program konkret yang bisa diambil pemerintah. Perubahan model pertanian, perikanan dan kelautan serta konsumsi masyarakat juga harus diperhatikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate